Humor Gelap

Humor gelap berisi tragedi yang lucu. Bagaimana mungkin tragedi bisa lucu? Ketahuilah, segala kejadian di dunia fana ini bisa terasa lucu asalkan bukan dirimu sendiri pelakonnya. Atau walaupun dirimu pelakonnya tapi engkau seorang bijak-bestari yang tidak tinggi hati dan engkau senang memperbaiki diri sendiri walaupun dengan cara menertawakannya.

Imam Al Laits meriwayatkan sebuah humor gelap yang dikisahkan oleh Jarir bin Hazim Al Azady, seorang rawi yang terpercaya:

Seseorang mendatangi Nabi Isa ‘alaihis salam dan minta ijin mengikutinya ke mana saja. Sang Nabi pun mengiyakan dan mereka lantas berkelana berdua hingga suatu pagi berhenti di dekat sebuah sungai untuk mengaso. Nabi Isa merogoh kantong bekal, mengeluarkan tiga potong roti. Sepotong untuk dirinya, sepotong untuk orang yang mengikutinya. Sepotong lagi dibiarkan tergeletak begitu saja.

Habis sarapan sepotong roti, Nabi Isa beranjak ke sungai untuk minum air darinya. Saat kembali ke tempat semula, didapatinya sisa roti yang sepotong tadi sudah sirna.

“Roti yang satu tadi siapa yang makan?” Nabi Isa bertanya. Lelaki penginthilnya berlagak pilon,

“Lho? Iya ya? Ke mana roti itu? Kok tahu-tahu nggak ada?”

Tak berkata apa-apa lagi, Nabi Isa mengajak meneruskan perjalanan.

Siang-siang mereka sampai di hutan. Terlihat seekor kijang betina berkeliaran bersama dua ekor anaknya. Nabi Isa melambaikan tangan memanggil salah satu anak kijang. Yang dipanggil menurut, mendekati Sang Nabi. Binatang itu pun mandah saja ketika Nabi Isa merebahkannya dan menyembelihnya. Dagingnya dimasak dan dua pengelana makan sampai kenyang, menyisakan hanya tulang-belulang. Nabi Isa mengumpulkan tulang-tulang itu lalu bersabda,

“Bangkitlah dengan izin Allah!”

Tulang-tulang itu pun bangkit dalam wujud anak kijang semula.

Sang Nabi menoleh kepada lelaki penginthilnya,

“Demi Dzat yang telah memperlihatkan kepadamu tanda kekuasaan-Nya ini, aku bertanya kepadamu: siapa yang makan sepotong roti sisa tadi pagi?”

Lelaki itu gugup sejurus, tapi segera berhasil meneguhkan hatinya,

“Saya sungguh tak tahu, Nabi…”

Nabi Isa mengajak bergerak lagi, hingga jalan mereka terhadang sebuah sungai yang lebar dan dalam. Nabi Isa meraih tangan lelaki penginthilnya lalu membimbingnya berjalan begitu saja di atas permukaan air. Hingga sampai ke sebarang.

“Demi Dzat yang telah memperlihatkan kepadamu tanda kekuasaan-Nya ini, aku bertanya kepadamu: siapa yang makan sepotong roti sisa tadi pagi?” Nabi Isa mengulangi pertanyaan yang sama. Tapi lelaki itu sudah lebih siap dan kelihatan amat mantap,

“Sudah saya bilang saya tak tahu, masak panjenengan tidak percaya?”

Dan mereka berjalan terus.

Di tengah sebuah padang yang luas mereka berhenti. Nabi Isa meraup kerikil dari kanan kiri dan mengumpulkannya jadi timbunan yang menggunung. Lalu entah Sang Nabi mengatakan apa, kerikil itu tiba-tiba berubah menjadi emas berkilauan. Dan Nabi Isa kemudian membaginya menjadi tiga.

“Yang sepertiga ini untukku, yang sepertiga untukmu”, beliau mengangsurkan sepertiga emas kepada penginthilnya, yang menerimanya dengan wajah berbinar girang luar biasa,

“Terima kasih, Nabi. Terima kasih. Terima kasih…”

Tapi pandangan matanya segera tertuju pada sisa emas yang masih sepertiga lagi.

“Lha yang itu untuk siapa, Nabi?” ia bertanya.

Sang Nabi mengangkat bahu,

“Ini kusisihkan untuk orang yang memakan roti sisa tadi pagi, kalau nanti ketemu”.

Lelaki penginthil jadi salah tingkah. Tapi, kalau pun malu ia tak tahu–karena ia adalah seorang manusia tak tahu malu–ia tahu benar kedermawanan dan kebesaran hati Nabinya. Ia menjatuhkan diri bersimpuh, menggenggam tangan Sang Nabi dan menciuminya bertubi-tubi.

“Kamu ini kenapa?” Nabi Isa jengah.

“Ampuun, Nabi…. Ampuun…. Ampunilah muridmu yang kurang-ajar tak tahu diri ini…. Sahaya hendak mengaku terus terang…. Sejujurnya sahaya akui… sahayalah yang memakan roti itu tadi pagi….”

Nabi Isa menghela napas,

“Ya sudah. Seluruh emas ini untukmu semua saja. Kamu boleh langsung membelanjakannya sekarang sesukamu. Aku akan melanjutkan perjalananku sendirian. Selamat tinggal”.

Lelaki itu tak perduli lagi. Ia biarkan Nabinya berlalu. Ia sibuk mengagumi tumpukan emasnya yang berpendar-pendar menandingi matahari sore hari.

Hilangnya Nabi Isa dari pandangan digantikan datangnya dua orang laki-laki sangar yang kebetulan lewat. Orang bertampang linglung mematung sendirian di depan emas menggunung jelas menarik perhatian mereka.

“Kita rampok saja!” sepakat mereka. Dan mereka sigap bertindak.

Tapi orang yang tadinya linglung itu cepat sadar dan serta-merta bersiaga. Maka berhadap-hadapanlah dua lawan satu siap berlaga. Ketegangan mencekam. Pedang-pedang bergetar di tangan. Bau darah bahkan sudah tercium sebelum tumpah.

Untunglah tiba-tiba saja salah seorang disentakkan akal sehatnya sendiri,

“Tunggu! Tunggu! Tunggu!”

Yang lain kaget tapi tertarik. Otot-otot mengendur. Pedang-pedang lunglai menggantung.

“Emas ini banyak sekali. Buat apa kita saling bunuh? Kita bagi tiga sama-rata saja, masing-masing sudah akan jadi kaya-raya tak terkira!”

Itu adalah gagasan yang sehat. Dan ketiga orang tamak itu belum lagi kehilangan kewarasan mereka. Maka mereka pun secara aklamasi mengakurinya. Ketegangan buyar berganti ramah-tamah dalam permufakatan.

Dan malam menjelang. Gelap turun menggenang-genang.

“Tak mungkin kita berjalan malam-malam menyeret emas seberat ini”, salah seorang nyeletuk, “tepaksa kita harus melewatkan malam dulu disini”.

Lagi-lagi yang lain setuju.

Tapi suasana santai membuat mereka segera teringat kepada perut. Rasa lapar menendang-nendang.

“Bagaimana kalau salah seorang dari kita pergi mencari perkampungan untuk membeli makanan? Sekalian kuda-kuda atau keledai untuk mengangkut emas kita besok pagi?”

“Setuju!”

“Setuju!”

Yang ketiban tugas tidak mengalami kesulitan untuk memperoleh yang dicari. Makanan secukupnya dan tiga ekor keledai yang segar dibeli dari penduduk kampung di tepian padang. Ia bahkan membayar dengan amat dermawan.

Tapi saat hendak kembali menemui teman-temannya, sebuah gagasan baru meletus di benaknya,

“Apa iya emas itu harus dibagi tiga? Kalau mereka bisa kusingkirkan, aku akan lebih kaya tiga kali lipat!”

Entah bagaimana, ada saja jalan baginya untuk memperoleh racun paling mematikan, kemudian membubuhkannya pada makanan yang akan disajikan untuk kedua temannya. Ia kembali ke padang dengan perasaan riang yang gilang-gemilang, nyaris seperti pahlawan menyongsong kejayaan.

Sementara itu di tengah padang, dua orang merintang-rintang waktu dengan segala omong-kosong. Baik omong-kosong yang sudah pernah ada maupun yang baru mereka ciptakan. Sudah tak terhitung waktu mereka begitu, sampai salah seorang keceplosan mengeluarkan pikiran yang sejak tadi disimpan-simpan,

“Kalian datang berdua, apakah kakak-beradik?”

“Tidak. Kebetulan saja kami bertemu di kota terakhir yang kami singgahi sebelum sampai di sini. Daripada jalan sendiri-sendiri, lebih baik barengan”.

“Jadi, bukan sanak bukan kadang?”

“Bukan. Baru juga sehari kami jalan bersama”.

Orang pertama tercenung. Lalu mencoba mengamati wajah teman bicaranya di bawah sinar bulan. Mengukur-ngukur kedalaman hati.

“Begini…”, ia melanjutkan pembicaraan dengan penuh perhitungan, “kalau dia tidak ada, kamu toh tidak akan terlalu kehilangan, bukan?”

Teman bicarannya mengernyit,

“Kamu ngomong apa?”

“Tenang… tenang… Maksudku… seandainya emas dibagi dua saja… tentu masing-masing mendapat lebih banyak daripada kalau harus dibagi tiga….”

Yang diajak bicara langsung sampai akalnya. Dan mereka serta-merta mencapai kemufakatan tanpa menambah kata-kata lagi.

Tak berapa lama teman mereka tiba bersama tiga ekor keledai dan bungkusan-bungkusan makanan. Tanpa komando, dua orang menyergap serentak. Mereka seret orang itu dari punggung keledai dan mereka habisi sekali jadi. Orang itu bahkan tak sempat mengerang. Hanya sekedipan mata. Nyawanya melayang.

Dua orang terduduk di tanah. Terengah-engah. Saling melirik, lalu cepat-cepat sama melengosnya. Dua-duanya bungkam. Sama sekali tak bernafsu pada kata-kata. Karena pada momen seperti itu, kata-kata cuma bikin malu. Karena pada momen seperti itu, semua kata, apa pun bunyinya, cuma punya satu makna: pengkhianatan.

Mereka mulai membuka-buka bungkusan. Tetap tanpa bicara. Makanan mereka lahap seperti memuaskan dendam kesumat. Tandas.

Dan entah pikiran apa yang berkelojotan di benak mereka ketika pada saatnya tubuh mereka mengejang. Jeritan kesakitan bak lolongan anjing putus asa. Dan nyawa meregang.

Esok harinya, tumpukan emas termangu di bawah langit. Tiga bujur bangkai manusia bergelimpangan di dekatnya. Burung-burung nasar mulai datang. Tiga ekor keledai berdiri saja. Tak tahu hendak berbuat apa atau akan kemana.

Tragis bukan? Apakah bisa kau rasakan lucunya? Seperti apa suara tawamu?

Humor gelap juga ada di Muktamar ke-33 Nahdlatul Ulama barusan.

Pemungutan suara tentang Ahlul Halli Wal ‘Aqdi baru saja selesai malam itu. Hasilnya, 252 suara setuju, 235 tidak setuju. Kyai Asyhari Abta, Rais Syuriah PWNU DIY, menerima telepon dari kampung halaman. Entah siapa.

“Mbok sudah to! Biar mereka saja yang menang!” kata suara dari seberang.

“Kok gitu?” Kyai Asyhari tak terima.

“Lha daripada berlarut-larut ributnya? Mereka itu kalau belum menang tidak akan mau berhenti ribut!”

Kyai Asyhari tercingak.

“Wadduhhh…” ia mendesah gugup, “lha ini kita sudah terlanjur menang jeee….”, suaranya terdengar gelisah sekali, “wah… gimana ya…? Votingnya bisa diulang enggak ya…?”

Syukurlah, dengan pertolongan Allah, keesokan harinya sidang-sidang berjalan lancar sekali. Tak ada orang yang membuat keributan lagi. Kecuali orang yang ingin memuktamarkan dirinya sendiri.
Sumber : Terong Gosong


EmoticonEmoticon