Fudhail bin Iyadh menyampaikan nasehat, “Wahai orang yang patut dikasihani, kamu orang jahat, tetapi menganggap dirimu baik. Kamu itu orang jahil tetapi menganggap dirimu berilmu. Kamu bakhil, tetapi menganggap dirimu dermawan. Umurmu pendek, tetapi angan-anganmu panjang.”
Perkataan tersebut dibenarkan oleh Imam Dzahabi, “Demi Allah, sungguh benar apa yang beliau nyatakan. Kita ini zalim, tetapi justru merasa dizalimi. Tukang makan yang haram, tetapi merasa diri kita orang suci. Fasik, tetapi merasa diri kita saleh. Mencari ilmu untuk mengejar dunia, tetapi merasa mencarinya karena Allah semata.”
Sungguh, perkataan dua ulama ahlussunnah tersebut menggedor pintu hati, merobek tabir jiwa, dan menampar wajah kita dengan kenyataan yang kita tutupi. Seringkali kali kita merasa sebagai orang baik, saleh, dan berilmu. Padahal, pantaskah kita menyematkan predikat baik, saleh, dan berilmu pada diri kita.
Kita tertipu oleh diri kita sendiri akibat bangga diri dan sifat sombong. Dengan memiliki sedikit dari karunia Allah berupa ilmu dan amal kebaikan, tak lantas menjadikan kita sebagai manusia suci. Tak lantas memberikan wewenang kepada diri kita untuk menduduki peringkat orang-orang saleh.
Keadaan kita di akhirat kelak hanyalah kehendak Allah. Dikarenakan oleh rahmat-Nya saja kita akan bisa mendapatkan kebaikan yang melimpah dan kenikmatan yang tiada akhir di dalam surga yang hijau lagi permai. Sungguh tertipu diri kita jika mengira akan masuk surga disebabkan hanya oleh amalan-amalan kita.
Sedikit amal membuat kita ujub. Sedikit amal membuat kita memandang rendah orang lain. Sedikit amal membuat kita menjadi hakim atas tindakan benar-salahnya orang lain. Tak ingatkah kita kisah ahli taat yang masuk neraka dan ahli maksiat yang masuk surga?
Disebutkan dalam kitab Sittuna Qishshah kisah ahli ibadah yang masuk neraka dan ahli maksiat yang masuk surga.
Abu Hurairah bahwa Rasulullah bersabda, “Pada zaman Bani Israil dahulu, hidup dua orang laki-laki yang berbeda karakternya. Yang satu suka berbuat dosa dan yang lainnya rajin beribadah. Setiap kali orang yang ahli ibadah ini melihat temannya berbuat dosa, ia menyarankan untuk berhenti dari perbuatan dosanya.
Suatu kali orang yang ahli ibadah berkata lagi, ‘Berhentilah dari berbuat dosa.’ Dia menjawab, ‘Jangan pedulikan aku, terserah Allah akan memperlakukan aku bagaimana. Memangnya engkau diutus Allah untuk mengawasi apa yang aku lakukan.’
Laki-laki ahli ibadah itu menimpali, ‘Demi Allah, dosamu tidak akan diampuni oleh-Nya atau kamu tidak mungkin dimasukkan ke dalam surga Allah.’
Kemudian Allah mencabut nyawa kedua orang itu dan mengumpulkan keduanya di hadapan Allah Rabbul’Alamin. Allah ta’ala berfirman kepada lelaki ahli ibadah, ‘Apakah kamu lebih mengetahui daripada Aku? Ataukah kamu dapat merubah apa yang telah berada dalam kekuasaan tanganKu.’
Kemudian kepada ahli maksiat Allah berfirman, ‘Masuklah kamu ke dalam surga berkat rahmat-Ku.’
Sementara kepada ahli ibadah dikatakan, ‘Masukkan orang ini ke neraka’.”
(HR. Ahmad, Abu Dawud, Ibnu Mubarak dalam Az-Zuhd, dan Ibnu Abi Dunya dalam Husn Az-Zhan, dan Al-Baghawi Syrah As-Sunnah)
***
Kisah tersebut mengandung celaan kepada seseorang yang mengklaim dirinya sendiri sebagai hakim kebenaran. Kisah tersebut memberikan faidah bahwa seseorang yang memastikan orang lain masuk surga atau neraka, berarti ia telah mengakui memiliki sifat ketuhanan.
Sumber : link
Sumber : link
EmoticonEmoticon