1. Latar Belakang Masalah
Sa’at ini pemerintah kabupaten Tuban melemparkan gagasan renovasi Masjid Agung Tuban yang akan menelan dana milyaran rupiah. Dana yang cukup fantastis untuk daerah Tuban, dengan sumber dana dari APBD dan sumber dana yang lain.
Hal tersebut menjadi polemik banyak kalangan karena proyek besar tersebut disamping rentan menimbulkan KKN juga hal tersebut adalah proyek mimpi dan mercusuar karena dilaksanakan disa’at rakyat dilanda krisis moneter yang memerlukan penanganan secepatnya. Dan juga banyak pos yang lain yang lebih memerlukan, sementara masjid yang ada ini masih cukup representative dan cukup untuk menampung jamaah.
Pertanyaan :
a. Bagaimanakah pandangan fiqih menyikapi renovasi pada masjid yang masih representative dari dana APBD ?
b. Bagaimana tindakan pemerintah dengan membuat proyek besar tersebut yang sarat dan rentan timbulnya KKN ?
c. Manakah yang harus didahulukan antara mengatasi krisis pada masyarakat dan merenovasi masjid ?
Jawaban a :
Perluasan yang dikehendaki disini adalah perluasan yang tanpa merubah atau mengusur bangunan yang ada. Memandang dari segi renovasi itu sendiri selama ada dlorurot (keperluan yang sangat mendesak) atau hajat maka hukumnya boleh. Adapun penggunaan uang APBD untuk hal tersebut maka tidak diperbolehkan manakala ada hal yang lebih penting.
Reference :
1. Bughyatul Mustarsyidin : 64-65
2. As Siyasah Asy Syar’iyyah : I/55
3. Al Ghoyatsi : 113
4. Al Wajiz : 382
5. Al Ahkam As Sulthoniyah :…
Jawaban b :
Pada hal proyek-proyek yang sudah pada taraf wajib atau sunnah maka pembuatan proyek oleh pemerintah tersebut boleh muthlaq dengan kewajiban membersihkan praktek KKN. Adapun untuk proyek-proyek yang tarafnya masih mubah maka bila ada keyakinan atau dugaan kuat terjadinya KKN maka tidak diperbolehkan. Sedangkan kalau adanya praktek KKN tersebut hanya sebatas tawahhum (prasangka tanpa dasar) maka diperbolehkan.
Reference :
1. Bughyatul Mustarsyidin : 294
2. Al Fatawa Haditsiyah : II/24
3. Jamal Ala Syarhil Manhaj : III/93
Jawaban c :
Penaggulangan krisis pada masyarakat harus lebih didahulukan daripada merenovasi masjid, karena dar’u mafasid muqoddamun ‘ala jalbil masholih (menghilangkan kemunkaran lebih diutamakan dari pada menciptakan kemashlahatan)
Reference :
1. Fatawi Kubro Al Fiqhiyah : IV/244
2. Asybah Wan Nadho’ir : 62
3. Fawa’id Janiyah :…
4. Imamatul ‘Udhma : II/357
5. Ahkam Sulthoniyah : 215
6. Latar Belakang Masalah
Dalam konsep Islam dikenal istilah “amal jariyah” yang merupakan bagian ibadah maaliya, bahkan hal ini dikalangan orang Islam merupakan suatu yang dibanggakan setelah berpindah kea lam barzakh, karena ada nilai plus tersendiri menurut prespektif mereka. Namun yang perlu dicermati nilai plus apa yang merangsang mereka ? ada sebagian anggapan bahwa mengalir tidaknya pahala ditentukan oleh penggunaan barang jariyah, sehingga tak jarang dari mereka menentukan barang yang dijariyahkan.
Pertanyaan :
a. Apakah substansi dalam amal jariyah, isti’malnya atau barang yang dijariyahkan msih mungkin digunakan مع بقاء عينه walaupun tidak digunakan ?
b. Ketika barang yang dijariyahkan itu sudah tidak terpakai apakah masih mendapatkan pahala ?
c. Jika barang yang dijariyahkan (waqafkan) hilang atau dicuri apakah orang yang amal jariyah masih mendapat pahala ?
Jawaban a :
Substansi dari amal jariyah adalah isti’mal atau intifa’ ‘ain (penggunaan dan pemanfaatan barang) yang syar’ie (sesuai syari’at) serta baqo’il ‘ain (tetapnya barang yang digunakan)
Reference :
1. I’anatut Tholibin : III/158-159
2. Faidlul Qodir : I/437-438
3. Fiqhul Islam : VIII/16-28
4. Bughyah Mustarsyidin : 104
5. Nihayatul Muhtaj : V/361
Jawaban b :
Untuk masalah tsawab (pahala), maka aslu tsawab (pahala pokok pewakafan) itu sudah didapat selagi waqaf itu telah memenuhi syarat-syaratnya. Sedagkan tajadduts tsawab (pahala yang terus menerus mengalir) itu sudah terputus karena masalah ini, itu tergantung adanya isti’mal atau intifa’ ‘ain (penggunaan dan pemanfaatan barang) sesuai dengan tujuan dan syarat dari waqif (orang yang mewaqafkan).
Reference :
1. I’anah At Tholibin : III/158-159
2. Faidul Qodir : I/437-438
3. Fiqhul Islam : VIII/16-28
EmoticonEmoticon